Kamis, 08 Desember 2016

KENEKATAN CAMPUR KESELAMATAN

Tebing Keraton…, sebuah lokasi yang sedang menjadi hit beberapa waktu terakhir. Ada beberapa alasan yang membuat lokasi ini menjadi begitu menarik untuk dikunjungi (termasuk oleh saya). Pertama, pemandangannya yang cukup bagus, meskipun kalo dilihat terlalu lama akan membosankan juga. Kedua, lokasi ini baru saja ditemukan, bahkan penarikkan tiket masuk yang disertai asuransi juga baru dilakukan pada pertengahan bulan Agustus tahun ini (resmi). Ketiga, foto yang beredar di dunia maya yang menurut saya cukup keren bila berfoto diujung bibir tebing, yang sebenarnya hanya sebuah batu yang sedikit tersembul keluar.

Sebuah papan pengumuman peringatan bagi pengunjung menarik perhatian saya, saat datang ke Tebing Keraton. Ada satu baris yang menyatakan bahwa pengunjung dilarang untuk berdiri di bibir tebing yang merupakan bebatuan, karena kondisinya yang tidak stabil. Saat saya mengamati situasi disekitar Tebing Keraton, saya harus mengakui jika lokasi foto terbaik adalah memang diujung sebuah batu yang tersembul keluar. Disisi lain saya juga melihat adanya bekas-bekas pagar dari bambu kecil yang sudah mulai rubuh, sehingga hampir tidak ada pagar pembatas disisi-sisi tebing. Menjelang siang, ada beberapa orang yang mulai melakukan pengukuran dan membawa beberapa bambu yang lebih besar. Rupanya pengelolah tebing hendak membuat pagar pembatas yang lebih kokoh, untuk melindungi pengunjung dari kemungkinan jatuh ke dasar tebing.
Sebuah pertanyaan muncul di benak saya. Jika pembatas pagar bambu yang lebih kokoh selesai dibangun, maka keselamatan para pengunjung akan jauh lebih terjamin. Namun bila seseorang yang ingin berfoto  dengan latar belakang pemandangan hutan, maka dibelakangnya akan terlihat pagar-pagar bamboo, yang mungkin hasilnya tidak akan terlalu memuaskan. Sebaliknya jika pagar tidak dibangun maka pengunjung tetap dapat berfoto di spot terbaik yang ada, namun keselamatan dirinya sangat tidak terjaga. Apakah memang ada korelasi antara kenekatan-foto keren-keselamatan ?. Mungkin yang kredibel menjawab pertanyaan ini adalah para fotografer yang bekerja di National ‘Geographic.
 Saya menilai foto disebelah kiri lebih keren dari sebelah kanan, dengan alasan obyeknya lebih terlihat di bibir tebing dan bahwa ia berdiri di ketinggian juga lebih tampak. Namun.. berdiri seperti di foto sebelah kiri jauh lebih menegangkan dan berbahaya dari pada foto yang disebelah kanan.

KEMANA KAMU AKAN PERGI…?

Jika judul diatas diajukan ke kamu, dengan syarat tempat tujuan hanya di Indonesia, namun semua biaya baik transportasi, akomodasi dan perizinan ditanggung oleh pihak lain, maka tempat mana yang akan kamu pilih ?
Setiap trip yang saya lakukan selalu ada alasan mengapa tempat tersebut menjadi tujuan saya. Waktu saya ke Rinjani, alasannya sangat simple. Saya merasa tertarik saja dengan namanya yang menurut saya sangat feminim untuk sebuah Gunung. Jarang nama gunung di Indonesia yang feminim. Saat saya memutuskan untuk ke Komodo sebenarnya bukan hewan komodonya yang menjadi alasan saya, melainkan sebuah acara di TV (berbayar – yang siarannya mengenai ilmu pengetahuan). Dalam salah satu episodenya yang menayangkan tentang Pulau Komodo disebutkan, hewan tersebut dapat bertahan karena alam disekitarnya tidak mengalami perubahan yang drastis (dalam hal ini termasuk tumbuhan). Jadi jika hewan komodo termasuk binatang purba, maka tumbuhan disekitarnya kemungkinan juga tumbuhan purba. Jadi alasan utama saya adalah ingin melihat dan merasakan alam purba, baik itu tanahnya, tumbuhannya, serta iklimnya.
Bukan hanya trip jarak jauh, trip yang berjarak pendek pun juga ada alasannya. Saya pernah ke Gunung Padang yang terletak di Cianjur. Waktu tempat ini muncul di berbagai media karena dugaan adanya bangunan yang lebih tua dari piramida mesir, saya belum tergerak untuk kesana. Namun ketika media mulai memberitakan bahwa pemerintah berniat meneliti tempat tersebut, dengan cara melakukan penggalian maka saya langsung mencari trip organizer yang mempunyai agenda ke Gunung Padang. Alasan saya berubah pikiran adalah, saya ingin melihat tempat tersebut sebelum keasliannya hilang akibat penelitian (kalau penelitian dilakukan dengan benar sih masih mending, nah kalau main asal gali dan merusak kondisi asli lingkungan gimana ?).
Sebuah iklan rokok di TV yang menayangkan beberapa daerah tujuan dengan sedikit ada unsur adventure-nya dan dikagumi oleh seorang turis mancanegara yang kebetulan duduk disamping saya, disebuah café waktu saya di Lombok, merupakan alasan saya untuk melakukan trip ke Goa Jomblang.
Lalu tempat mana yang akan saya pilih, jika judul tersebut diajukan ke saya ? Tanpa pikir panjang saya akan menjawab ke Gunung Jayawijaya. Kalaupun nggak bisa sampai puncak juga nggak masalah. Saya hanya ingin menggenggam salju yang ada di gunung tersebut (salju alami yang ada di negara dua musim), sebelum salju tersebut menghilang karena dampak dari pemanasan global (menurut penelitian salju di gunung tersebut memang semakin keatas). Sebuah ucapan dari seorang pembawa acara petualangan di TV yang menyadari saya kalau Gunung Jayawijaya menjadi begitu penting untuk dikunjungi.
“Saya sangat beruntung dapat sampai di puncak Gunung Jayawijaya dan masih dapat merasakan saljunya”, begitu kira-kira kata awkarin - Karin Novilda.
Bagaimana dengan kamu, kemana kamu akan pergi…?

Pengalaman Kami di Pulau Harapan

Trip ke Pulau Harapan di kepulauan seribu ini sebenarnya kami (saya dan berberapa teman kantor) lakukan karena ingin keluar sejenak dari Ibukota, dan jika pulang tidak terlalu malam. Namun semakin dekat waktu keberangkatan ternyata beberapa dari kami harus menghadapi beberapa masalah pribadi yang tiba-tiba muncul, sehingga jadilah tema perjalanan kami ini menjadi “Mencari Harapan di Pulau Harapan”. Mungkin apa yang kami harapkan tidaklah sama, namun saat itu kami menyenangkan diri kami sejenak dengan berfoto ria dan ber.. ha..ha.. hi..hi.. dengan saling becanda di homestay, saat snorkling, ataupun saat di perahu.
Bagi saya pribadi perjalanan ke Pulau Harapan ini tidak dapat dikatakan mudah. Untuk pertama kalinya saya mengalami mabuk laut. Saat ingin pindah tempat duduk, goyangan perahu membuat telapak kiri tangan saya kebentur kayu perahu, sehingga antara ibu jari dan telunjuk mengalami sakit yang luarbiasa (saat tulisan ini dibuat masih sakit). Ketika hendak keluar kapal, belakang telinga kiri saya kepentok kayu yang ada dikapal, cukup keras rupanya sehingga menimbulkan luka kecil. Terakhir saat melakukan snorkling, jari telunjuk saya terkena bulu babi.
Semua kejadian beruntun tersebut, sempat membuat saya berpikir ada apa dengan perjalanan saya kali ini. Akhirnya saya hanya menyimpulkan, terkadang untuk mewujudkan harapan dibutuhkan rasa sakit, yang mungkin bukan hanya sekali, dengan tujuan jika harapan sudah terwujud kita akan selalu ingat bahwa hal tersebut tidak didapat dengan mudah. Pulau Harapan rupanya mengingatkan saya akan hal tersebut
Satu hal yang paling saya sukai dari perjalanan ke Pulau Harapan ini adalah foto ketika saya sedang snorkling, lebih tepatnya saat jari telunjuk terkena bulu babi. Sebuah gaya foto yang sangat tidak biasa menurut saya :).